Melepas Matahari

04.45

Aku ingat, saat pertama kali kita bertemu. Diruang kelas baru, di semester baru, tahun ajaran baru. Kelas itu penuh dengan siswa siswi lain yang akan menjadi bagian dari kelas itu juga, sama seperti kita. Saking banyaknya mereka, aku tidak sadar kamu ada, karna kamu bukan orang yang langsung banyak bicara pada orang yang baru kamu kenal, apa lagi sebanyak itu, kamu hanya bicara dengan mereka, sahabat-sahabat mu yang kebetulan ikut satu kelas dengan kita. Aku juga begitu, sama seperti mu yang juga memilih untuk bicara hanya pada mereka yang aku kenal baik saja. Dan menunggu sampai wali kelas kita yang membuka perkenalan dengan semuanya.

Waktu terus berputar, hari berganti hari, pelajaran dan tugas-tugas terus hadir setiap hari, tak mengizin kan kita untuk bersantai. Dari tugas individu, hingga kelompok, entah berapa kali kita pernah bergabung di satu kelompok dalam tugas, aku lupa, tapi tetap saja, keberadaan mu masih tak ku hiraukan, kamu masih tak terlihat.

Hingga pada akhirnya satu cerita mempertemukan kita. Satu kesamaan, satu hobi. Membaca dan berdiskusi. Aku ingat. Aku sedang asik membaca buku, emm.. novel tepatnya. Lalu kamu datang. Bertanya, dan aku menjawab. Itu terus berlanjut sampai tanya jawab itu berubah menjadi forum yang di dengar banyak orang, walaupun kita hanya asik bicara berdua, asik membicarakan berbagai topik, yang jelas sudah keluar jauh dari buku yang aku baca. Aku merasa nyaman. Iya. Nyaman. Aku merasa sudah mengenal mu lama, karakter mu, seakan aku sudah sangat mengenalnya. Apa dia teman masa kecil ku? Bukan. Sudah pasti bukan, tapi, hanya saja, aku merasa kamu mirip seseorang. Seseorang yang selalu mengajak ku berdiskusi dan membuka mataku tentang dunia, laki-laki yang lembut dan sering bercanda, tapi bisa sangat tegas dan keras kepala. Aku merasa ada kemiripan diantara kalian. Aku merasa kamu mirip dengan nya. Dengan Ayah ku. Matahari dalam hidup ku. Dan kamu mungkin, adalah matahari kedua ku.

Dari sana. Setiap berdiskusi dengan mu, aku seperti merasa kembali kerumah, aku merasa seperti pulang dan bertemu ayah ku, yang selalu rutin berdiskusi dengan ku sebelum aku terlelap di kamar ku. Kamu adalah teman laki-laki pertama yang membuat ku merasa nyaman membicarakan dunia, berbagi pengetahuan yang dulunya hanya ku ketahui sendiri. Bahkan seseorang yang dulu sempat hadir dalam hidupku begitu lama, dan pergi dengan meninggalkan luka yang begitu dalam, tidak sanggup membuat ku senyaman ini. Entah apa yang dulu aku suka dari orang itu.

Kamu jayus, garing, bercandaan mu sering kali tidak lucu, tapi anehnya, aku tetap tersenyum bukan mencibir seperti biasanya. Haha aku masih belum tahu jelas ini apa? Karna aku masih belum sepenuhnya melupakan masa lalu. Tapi, ada rasa yang lebih aneh yang tidak seharusnya ada. Aku iri. Iri saat kamu dekat dengan sahabat ku, memberikan hadiah kecil padanya, akrab di dunia nyata bahkan di dunia maya, lebih dari ke akraban mu dengan ku. Ada rasa tidak suka disana, yang akhirnya aku abaikan karna aku masih juga belum lepas dari masa lalu.

Memasuki tahun berikutnya, ternyata tuhan masih mengizinkan kita ada dalam kelas yang sama. Disana, dikelas yang baru, ternyata kamu temukan cinta mu yang sebenarnya. Dikelas itu, kamu mengenal dia. Dia yang dapat membuat mu menunjukan sisi lain diri mu yang tak pernah kulihat sebelumnya, atau, tak kusadari sebelumnya. Dengan lepasnya kamu bercanda, tertawa, berkejaran. Yang sebelumnya hanya kamu lakukan dengan sahabat-sahabat mu. Aku senang. Sungguh aku senang melihat mu bisa begitu lepasnya bersama dia, tapi disisi lain, tanpa ku sadari ada luka yang tergores disisi terdalam hati ku, goresan yang semakin lama semakin banyak, dan semakin dalam saat aku tahu, kamu menyatakan perasaan mu padanya, terlebih saat telinga ku sendiri yang mendengar kamu mengucapkannya. Bukannya aku tidak tahu kamu mencintainya hingga aku membiarkan perasaan ku ini tumbuh begitu saja. Aku tahu, karna aku selalu memperhatikan mu, tanpa kamu ucapkan pun aku bisa melihat dengam jelas perasaan itu saat kamu menatap nya. Tatapan yang berbeda dibanding saat kamu menatap ku.

Ironis. Sangat. Karna saat aku sudah sepenuhnya melupakan masa lalu, aku malah terjebak di perasan seperti ini terhadap mu. Bodoh. Sekali lagi aku mengulangi masa lalu yang dulu, persis sama. Hanya orang bodoh yang membiarkan dirinya terluka. Terluka dengan cara yang sama, dengan luka yang sama, di tempat yang sama. Di luka yang baru saja mulai terobati. Itu aku.

Lebih bodohnya lagi, aku malah terjebak di antara kalian, antara kamu dan dia. Karna dia sahabat ku, bahkan dia seperti adik ku, adik manja yang perlahan sangat aku sayangi. Hah!! Kenapa aku mudah sekali mencintai orang. Sunguh tidak nyaman rasanya saat aku harus duduk bersama dengan kalian, kalian yang seharusnya berdua, tanpa aku diantaranya. Tapi mungkin dia juga menyayangi ku, aku yang seperti kakaknya, hingga dia selalu datang pada ku, bercerita tentang mu, perasaannya terhadap mu, dan mengajak ku duduk bersama kalian, walau pun aku tahu, meski kita bertiga, arah pembicaaran mu selalu kepadanya, aku hanya pendengar dan penengah saat apa yang kalian bicarakan tidak dapat dia mengerti. Aku sadar itu, tapi aku berusaha berpura-pura tidak tahu, aku berusaha tetap begitu, bukan karna aku ingin, tapi aku hanya tidak mau kamu dan dia menyadari perasaan ku. Meskipun pada akhirnya itu melukai ku juga

Dia tidak membalas perasaan mu. Dia mencintai orang lain. Dia sudah jadi milik orang lain. Andaikan kamu tau, betapa ingin aku meneriakannya di hadapan mu agar kamu sadar. Tapi apa pun yang aku lakukan, kamu akan tetap begitu, seperti aku yang juga tetap bigini terhadap mu.

Waktu terus berputar, seakan tak kenal lelah ia terus berjalan tanpa perduli betapa aku menginginkannya berhenti sejenak. Aku lelah berkejaran dengan waktu dan perasaan ku. Dan waktu itu merubah mu, menjadi pribadi yang lebih baik, menjadi manusia yang lebih arif dan mengenal tuhannya lebih dalam. Aku menyukai perubahan itu, aku senang kamu menjadi lebih baik, aku begitu ingin mejadi bagian dari perubahan itu, aku ingin membantu mu lebih dekat lagi dengan tuhan mu. Aku memang tak sedekat itu dengan-Nya, tapi aku ingin berbagi apa yang ku ketahui tentang-Nya bersama mu, seperti dulu, saat waktu diskusi itu hanya milik kita berdua, tanpa ada dia diantaranya, atau tanpa ada aku yang berperan sebagai penengah.

Tapi sekali lagi, waktu tidak berkenan untuk berhenti atau pun menunggu. Dia berlalu begitu cepat, hingga kini kita harus berpisah, bukan hanya jarak antara hati, tapi juga jarak nyata yang memisahkan ruang dan waktu. Sekarang kamu benar-bener dengan hidup mu. Dan aku dengan hidup ku. Aku tahu kalau kamu tahu jika aku menyukai mu. Yaa di akhir perjalanan panjang ini akhirnya aku berani mengucap rasa, tapi ternyata tanpa aku ucapkan pun kamu sudah menyadarinya sejak lama. Tapi meski sudah ku ungkapkan, masih ada rasa tertinggal yang mengganjal hati ku, ada yang belum tuntas, ada yang belum selesai. Entah apa, tapi yang jelas, aku  tidak lagi mampu untuk mengucapkannya pada mu. Tapi aku bersyukur, karna paling tidak, aku sudah menebus perasaan itu, dengan membantu mu dengan cara ku. Dan sekarang. Terimakasih karna terlah berpura-pura tidak tahu, terimakasih telah membiarkan semuanya berjalan normal. Mungkin kamu melakukan itu untuk menjaga pertemanan kita, terimakasih telah berteman dengan ku, berbagi ilmu dan pengetahuan tentang dunia. Terimakasih kamu telah mengajarkan ku banyak hal.
Sekarang, aku akan membiarkan mu pergi. Kejar mimpi dan harapan mu yang dulu dengan semangatnya kamu ceritakan pada ku. Tapi tolong tepati janji mu, jika kamu benar-benar berhasil, kamu akan kembali, dan mengajak ku juga yang lain, untuk membangun negara ini. Atau kembali untuk sekedar mengundang ku kepernikahan mu, ditempat yang kau mimpikan itu.
Aku tidak sempat mengucapkan salam perpisahan. Aku bahkan tidak mampu, paling tidak untuk sekarang. Tapi lewat tulisan ini, aku ingin mengucapkan
Semoga kamu berhasil, semoga kita berhasil, semoga kita bertemu di keadaan yang lebih baik. Sampai jumpa dimasa depan ^^.

Like us on Facebook

Flickr Images